IslamDNet - Bulan Ramadhan merupakan bulan yang paling ditunggu oleh orang-orang yang beriman. Karena didalamnya berlimpah pahala dan diampuni dosa serta dihindarkan dari api neraka untuk mereka yang bisa menjalankannya sesuai dengan tuntunan dan pedoman yang dicontohkan oleh nabi Muhammad Saw. Apabila kita melihat sejarah ke belakang, ternyata pada bulan Ramadhan ini ada peristiwa penting untuk umat Islam yaitu terjadinya perang Badar dan pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib. Berikut adalah cerita lengkapnya:
1. Perang Badar
1. Perang Badar
Pertempuran Badar adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang kemudian mundur dalam kekacauan.
Sebelum pertempuran ini, kaum Muslim dan penduduk Mekkah telah terlibat dalam beberapa kali konflik bersenjata skala kecil antara akhir 623 sampai dengan awal 624, dan konflik bersenjata tersebut semakin lama semakin sering terjadi. Meskipun demikian, Pertempuran Badar adalah pertempuran skala besar pertama yang terjadi antara kedua kekuatan itu. Muhammad saat itu sedang memimpin pasukan kecil dalam usahanya melakukan pencegatan terhadap kafilah Quraisy yang baru saja pulang dari Syam, ketika ia dikejutkan oleh keberadaan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Pasukan Muhammad yang sangat berdisiplin bergerak maju terhadap posisi pertahanan lawan yang kuat, dan berhasil menghancurkan barisan pertahanan Mekkah sekaligus menewaskan beberapa pemimpin penting Quraisy, antara lain ialah Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.
Bagi kaum Muslim awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena merupakan bukti pertama bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk mengalahkan musuh mereka di Mekkah. Mekkah saat itu merupakan salah satu kota terkaya dan terkuat di Arabia zaman jahiliyah. Kemenangan kaum Muslim juga memperlihatkan kepada suku-suku Arab lainnya bahwa suatu kekuatan baru telah bangkit di Arabia, serta memperkokoh otoritas Muhammad sebagai pemimpin atas berbagai golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai. Berbagai suku Arab mulai memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum Muslim di Madinah; dengan demikian, ekspansi agama Islam pun dimulai.
Kekalahan Quraisy dalam Pertempuran Badar menyebabkan mereka bersumpah untuk membalas dendam, dan hal ini terjadi sekitar setahun kemudian dalam Pertempuran Uhud.
Badar dalam al-Qur'an
Pertempuran Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang secara eksplisit dibicarakan dalam al-Qur'an. Nama pertempuran ini bahkan disebutkan pada Surah Ali 'Imran: 123, sebagai bagian dari perbandingan terhadap Pertempuran Uhud.
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin, "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. (Ali 'Imran: 123-125)
Menurut Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di Badar, barisan-barisan Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin secara ketat; sementara di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu orang-orang Mekkah, sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah dapat menyerang dari samping dan menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan bahwa Badar merupakan "pembeda" (furqan), yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi dalam surah yang sama.
"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." (Ali 'Imran:13)
Badar juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang membahas mengenai berbagai tingkah laku dan kegiatan militer. "Al-Anfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk pada pembahasan pasca pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak menyebut Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta beberapa ayat yang umumnya dianggap diturunkan pada saat atau segera setelah pertempuran tersebut terjadi.
2. Pembunuhan atas Ali bin Abi Thalib
Pada 21 Ramadan 40 H: Khulafaur Rasyidin keempat dan terakhir, dibunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam. Ia meninggal pada tanggal 23 Ramadan tahun itu juga. Kematiannya menandai berakhirnya sistem kekhalifahan Islam, dan kemudian dimulai dengan sistem dinasti.
Ali bin Abi Thalib. Cukuplah kalau disebutkan bahwa dia adalah sepupu Nabi Suci Muhammad saw. Sejak kelahirannya di Ka’bah, dia dibesarkan dan dididik langsung oleh Nabi. Ali adalah lelaki pertama yang memeluk Islam. Ali adalah kembang, kebanggaan dan perisai Islam hingga akhir hayatnya.
Berikut adalah maqtam, narasi detik-detik kematian Ali yang cemerlang, yang kerap dibacakan di majelis menyambut malam ganjil Laylatul Qadar – 19 dan 21 Ramadhan:
Pada
bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah itu, setiap hari Imam Ali mendatangi
anaknya untuk berbuka dan sahur bersama. Terkadang beliau mampir di
rumah Imam Hasan, kemudian besoknya mendatangi Imam Husein, di hari
ketiga mendatangi putrinya Zainab, dan di hari keempat berbuka dan
bersahur di rumah putrinya Ummu Kalsum.
Hari itu adalah Jumat yang cerah, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H. Di
rumah Ummu Kaltsum di Kufah, di wilayah yang sekarang disebut sebagai
Irak, Ali seperti merangkum sejarah dan perjuangan pahit getir para Nabi
sejak Adam hingga Ibrahim di tanah Babilonia.
Pada malam 19 itu, Ummu Kalsum mendapat giliran berbuka bersama ayah
tercintanya. Dia menyuguhkan menu berbuka dalam dua nampan, satu berisi
roti kering dan lainnya berisi susu masam. Imam Ali menegurnya:
“Bukankah kau sudah tahu bahwa aku selalu mengikuti putra pamanku
Rasulullah yang tidak pernah makan sajian dalam dua nampan sepanjang
hidupnya? Maka mohon angkatlah salah satunya. Barangsiapa yang makan dan
minumnya enak di dunia ini maka perhitungannya akan lama kelak di
hadapan Allah… .”
Ummu Kulsum menuturkan bahwa malam itu Imam Ali makan sangat sedikit
dari roti kering yang kusuguhkan dan memperbanyak ucapan hamdalah dalam
tiap suapnya. Selesai makan sedikit, Imam segera bangkit untuk
melaksanakan shalat yang lama. Imam terus dalam keadaan rukuk, sujud,
bermunajat, berdoa yang khusyu, dan sering-sering keluar rumah untuk
melihat langit. Sekali di antaranya dia berujar: “Ya, ya…inilah malam
yang dijanjikan kekasihku Rasulullah.”
Di malam itu, Ali sempat tertidur sejenak dan terbangun cepat.
Ummu Kaltsum, putri bungsu Fathimah Azzahra ‘alayhas-salam itu,
lantas menuturkan apa yang terjadi di detik-detik yg paling mempesona
dari kehidupan ksatria langit, kekasih Allah dan Rasulullah ini sebagai
berikut.
Ummu Kaltsum
“Aku melihat ayahku shalat hingga tengah malam. Di serangkaian
shalatnya, beliau sebentar-sebentar keluar rumah, menengok sejenak ke
langit dan kembali lagi untuk shalat. Tangisannya lebih panjang dari
biasanya. Rukuknya lebih lama, sujudnya lebih lama. Lantunan munajatnya
pun lebih syahdu dari hari-hari biasanya.”
Narator:
Imam Ali tenggelam dalam ibadah hingga menjelang subuh. Di sela-selanya,
dia beberapa kali seperti berbicara pada dirinya sendiri:
“Sepertinya inilah malam yang dijanjikan kekasihku, Rasulullah.”
“Ya Allah, Engkau tak pernah berbohong dan aku pun tidak akan mengkhianati-Mu. Inilah malam kematian yang Kau janjikan padaku.”
“Lailaha Illallah. Hukum sebab akibat senantiasa terjadi. Sebentar lagi ketetapan Allah akan diputuskan.”
Narator: Ummu
Kaltsum hanya bisa berurai air mata. Kakeknya Rasulullah saw. Pernah
mengatakan bahwa Ali akan Syahid dibunuh “saudara pembunuh onta suci
Nabi Shaleh” pada Jumat terakhir bulan Ramadhan. Imam Ali dan semua
keluarga dekat Nabi tahu persis siapa orangnya: Abdurrahman Ibnu Muljam.
Nama Ibnu Muljam sebenarnya sudah lama dikenal oleh keluarga Nabi.
Suatu kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam
Ali, pernah menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam
hari. Di tengah2 perjalanan, terdengar suara ayat Alquran dari masjid.
Kumayl berkata, “Ya Amirul Mu’minin, alangkah merdunya suara itu.”
Imam Ali menimpali,
“Ya Kumayl, itulah suara orang (Abdurrahman bin Muljam) yang akan
menebas pedangnya ke kepalaku di saat aku sedang shalat subuh.”
Narator: Ali
sadar tak ada hukum yang bisa dilakukan untuk kejahatan yang belum
dikerjakan. Dia juga tahu kematian adalah sesuatu yang menyeramkan tapi
perhatian pada Tuhan akan melenyapkan semua ketakutan apapun di alam
ini.
Malam itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke langit.
Di mesjid Kufah, dia mendapati Ibnu Muljam tidur telungkup. Dia pun menasehatinya: “Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fasik dan munkar.
Yang disapa dan dinasehati membantu, tak kunjung beranjak.
Lalu Imam Ali berkata lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan
sesuatu yg sangat berbahaya, sangat mengerikan. Kalau aku mau, akan
kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu itu.”
Narator:
Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam, semoga Allah swt mengutuknya,
tersimpan pedang beracun. Tapi dia tak mempedulikannya untuk sebuah
alasan yang belum pernah didengar dunia.
Setelah azan subuh tanggal 19 Ramadhan berkumandang, Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib kembali keluar masjid, dan menengok ke fajar yang
menyingsing. Kemudian dengan suara parau, beliau mengucapkan selamat
berpisah kepada fajar:
Imam Ali ”Wahai Fajar.. sepanjang Hayat Ali.. Pernahkah engkau muncul dan mendapatkannya tertidur ??
Narator: Di
mihrab, Ali memulai shalatnya seorang diri. Dia seperti sengaja
memperpanjang rukuk dan sujudnya. Ibnu Muljam, seperti orang-orang di
zaman itu, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat
shalat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai
mengayunkan pukulan ke kepala Ali, tepat saat Ali ingin bangun dari
sujud partamanya.
Darah lalu mengucur deras. Dahi Ali koyak. Janggutnya meneteskan
darah. Tapi tak ada erangan dari mulut Ali. Justru pujian pada Tuhan.
Imam Ali ;“Bismillah, wa billah wa ‘ala millati Rasulillah…
Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian berteriak: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah…Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.”
Seiring dengan suara Imam Ali, seluruh penduduk Kufah mendengar
gelegar suara keras Jibril yang mengabarkan berita duka itu, hingga
semua warga berhamburan keluar rumah untuk menuju masjid jami Kufah.
Ummu Kalsum yang mendengar suara itu dari rumah sontak menjerit lirih: “Waaah Abataaah, Waaah Aliyaah” (Oooh Ayahku, Ooooh Aliku).
Yang pertama datang menyaksikan Imam Ali bercucuran darah adalah putra sulungnya, Hasan.
Imam Hasan menuturkan bahwa Imam Ali terus berusaha melengkapi
rangkaian shalatnya sambil duduk. Badannya menggigil. Setelah salam, dia
mengusapkan tanah sujud ke dahinya yang merekah sembari mengucapkan
firman Allah dalam surat Thaha ayat 55:
Imam Ali “Dari tanah, kalian Kami ciptakan, dari tanah pula kalian Kami kembalikan dan bangkitkan.”
Narator:
Semua kejadian disaksikan oleh seluruh putranya, terutama Hasan yang tak
kuasa menahan airmata. Imam Ali meminta Hasan untuk mengimami jamaah
shalat. Beliau mengikuti dari belakang dengan gerakan isyarat sambil
terus membersihkan cucuran darah dari kening sucinya.
Seusia shalat, Hasan langsung kembali menengok ayahnya, didampingi Husein dan seluruh putra Ali yang lain.
Hasan: Duhai Ayahku, tak kuasa aku melihatmu begini…sungguh
ini sangat menghancurkan hatiku. Berat sekali bagiku melihatmu seperti
ini.
Imam Ali membuka matanya lalu berkata: Anakku Hasan…jangan
bersedih. Sebentar lagi aku tidak akan merasakan kegetiran apapun.
Lihatlah itu, Kakekmu Muhammad Al-Musthafa, Nenekmu Khadijah Al-Kubra,
Ibumu Fathimah Azzahra, dan para bidadari berjejer-jejer menyambut
kedatangan ayahmu. Tegarlah dan riangkan hatimu.
Hasan kemudian meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya untuk
membersihkan darah yang tak berhenti mengucur. Tak lama berselang, Imam
Ali pingsan dalam pelukan Hasan. Jerit tangis membahana ke seluruh arah.
Hasan pun langsung menciumi wajah ayahnya demikian pula putra-putra
Imam yang lain.
Derasnya airmata Hasan menyadarkan Imam Ali. Imam pun langsung
bertanya: “Anakku Hasan, untuk apa tangisan ini? Jangan bersedih atas
keadaan ayahmu. Apakah kau bersedih atas keadaanku padahal esok kau akan
dibunuh dengan cara diracun dan adikmu Husein akan dibunuh dengan
tebasan pedang. Lantas kalian semua akan menyusulku bersama kakek dan
ibu kalian.”
Setelah kekacauan terjadi, salah seorang di antara khalayak
belakangan masuk membawa Ibnu Muljam. Orang curiga dia lari menjauh dari
mesjid dengan pedang berlumur darah sementara seluruh penduduk justru
menuju masjid.
Kematian telah mendekati Ali. Rekahan di dahinya begitu dalam. Tapi
musibah itu tak merusak karakter keadilan yang larut dalam darah dan
dagingnya. Dia melarang orang membalas pada Ibnu Muljam.
Imam Ali “Aku tahu engkau akan membunuhku…Pasti…Tapi sesungguhnya aku masih berharap pada Allah adanya perubahan pada diri dan nasibmu.”
Narator ; Ibnu Muljam tak kuasa mendengar kalimat setinggi itu. Dia menangis.
Ibnu Muljam “Ya Amirul Mukminin, afa anta tunqidzhu man finnaar (apakah engkau bisa menolong orang yang sudah masuk neraka)?”
Narator: Ali
menjawab dengan memerintahkan anak-anaknya mencari susu. Dia kehausan
dan meminta mereka mempersilahkan Ibnu Muljam meminumnya lebih
dahulu……………….sedangkan Imam meminum sisanya………. Inilah minuman susu
terakhirnya.
Imam Ali
:”Wahai, putra-putra ‘Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak ingin
melihat kalian menumpahkan darah kaum Muslimin sambil berteriak “Amirul
Mukmini telah dibunuh!” Ingatlah, jangan membunuh dengan alasan
kematianku, kecuali atas pembunuhku. Tunggulah hingga aku mati oleh
pukulannya ini. Kemudian pukullah dia dengan satu pukulan dan jangan
rusakkan anggota-anggota badannya, karena aku telah mendengar Rasulullah
saw berkata, “Jauhkan memotong-motong anggota badan sekalipun terhadap
anjing gila.
Narator: Imam
Ali lahir di Ka’bah yang suci dan pada bulan yang suci, di mihrab yang
suci dan dalam keadaan bersuci pula dia menyambut kematian. Kufah
berduka. Rumah-rumah keluarga Nabi gelap selama beberapa malam.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Malam 21
Pada malam 21 itu keluarga Nabi mengenakan busana hitam, karam dalam
duka yang mendalam. Para malaikat dan segenap kekasih Allah meleleh
dalam pilu yang menyayat. Malam itu begitu panjang dan melelahkan. Waktu
seolah membeku dalam kebisuan, menolak untuk menerima takdir
perpisahan. Pedang kesesatan dan kebodohan menyempurnakan kegelapan
malam itu dengan sebilah kenistaan yang bercampur kebencian.
Sementara di sudut lain dari bumi, gerombolan orang pandir,
pengkhianat kemanusiaan, penyulut api neraka yang paling mengerikan,
pembenci keluarga Nabi sedang berpesta pora.
Saat racun kian merasuki sekujur tubuh suci Imam Ali, kerinduannya
pada Allah dan Rasul kian berkobar-kobar. Dia terlihat begitu pasrah,
teduh, berparas pucat pasi, menerima nasib dalam kegairahan yang
seutuhnya. Imam Ali menyambut perpisahan dengan dunia dalam rindu
bercampur sedih, pilu bercampur riang, perasaan yang mengayun di antara
perpisahan yang menyesakkan dan perjumpaan yang melegakan setelah
perjalanan berliku yang menahun.
Manusia dan jin, binatang-binatang, burung-brung di angkasa, ikut
merasakan kesedihan berpisah dengan Imam Ali yang senantiasa menjadi
sumber kasih bagi mereka. Jibril berteriak keras memecah keheningan
malam itu: “Ooooh, sungguh salah satu tiang petunjuk Allah telah roboh…
satu lagi seorang pemberi peringatan yang suci pergi dari dunia yang
fana ini!
Diriwayatkan bahwa suatu kali ketika Rasulullah sedang berbicara
tentang bulan Sya’ban yang dilanjutkan dengan penjelasan tentang
keunggulan bulan Ramadhan dan ketinggian nilai ibadah di dalamnya,
kemudian Imam Ali berdiri di hadapannya dan bertanya, “Ya Rasulullah,
apakah amalan paling baik di bulan Ramadhan?” Rasul menjawab, “Wahai
Abul Hasan, sebaik-baik amal di bulan ini ialah berpantang dari hal-hal
yang diharamkan Allah.”
Tiba-tiba Rasul menangis…
Amirul Mukminin bertanya lagi, “Apakah yang membuatmu menangis, Ya Rasulullah?”
Baginda Nabi menjawab, “Aku menangis karena apa yang akan menimpamu
di bulan itu. Sekarang aku seakan-akan menyaksikanmu menunaikan shalat
untuk Tuhanmu manakala orang paling sial dari masa lalu dan masa kini,
adik dari pembunuh onta Nabi Saleh, memedang dahimu hingga janggutmu
memerah berlumuran darah.”
Lalu Amirul Mukminin bertanya, “Ya Rasulullah, apakah saat itu aku dalam keadaan selamat dalam urusan agamaku?”
Rasulullah menjawab, “Tentu saat itu engkau berhasil dalam urusan
agamamu.” Lantas Rasulullah melanjutkan, “Hai Ali, barangsiapa yang
membunuhmu berarti dia telah membunuhku; dan barangsiapa yang membencimu
berarti dia telah membenciku; dan barangsiapa yang mencacimu berarti
dia telah mencaciku, karena engkau adalah bagian dari diriku, ruhmu dari
ruhku dan tanah penciptaanmu dari tanah penciptaanku … Hai Ali, engkau
adalah washiku, ayah dari keturunanku, suami dari putriku dan
khalifahku … Demi Dzat yang mengutusku sebagai Nabi dan menjadikanku
sebaik-baiknya makhluk, engkau adalah hujjah Allah bagi segenap
makhlukNya ….”
Di hari-hari menjelang wafatnya, Imam Ali sering memberi kabar
kematiannya kepada khalayak dengan bahasa isyarat yang mudah dimengerti.
Dia juga sempat berdoa meminta kepada Allah dengan membuka tudung
kepalanya sambil berujar, “Ya Allah, aku telah jenuh dengan mereka dan
mereka pun sudah jenuh padaku, aku telah bosan dengan mereka dan
merekapun sudah bosan denganku … tidakkah sebaiknya ada perpisahan?
Dikabarkan pula bahwa pada bulan Ramadhan itu, Imam Ali melihat tanda
paling jelas dari dekatnya jemputan ajal ketika bermimpi melihat
Rasulullah sedang membersihkan tanah dari wajah Imam Ali dan bertutur,
“Hai Ali, tiada lagi bebanmu. Kau telah menunaikan semua kewajiban.”
Muhammad ibn Abu Bakr: Aku menginap di rumah ayahku pada malam
21. Racun telah menjalar sampai ke ujung-ujung kakinya. Wajahnya
semakin pucat. Pandangan matanya nyaris tertutup. Kami kemudian
membaringkannya di ranjang. Beliau terus mengulang-ulangi
wasiat-wasiatnya kepada kami dan bertakziah atas kepergiannya sendiri.
Beliau pun terus menerus shalat dalam keadaan duduk.
Tidak lama kemudian Ummu Kulsum dan Zainab datang dalam keadaan
menangis. Sambil bercucuran airmata Zainab berujar: “Ayah, duka kami
terhadapmu pastilah panjang dan airmata kami tidak bakal berhenti.”
Mendengar suara Zainab, seluruh keluarga besar Imam Ali menangis.
Suara keras ini kemudian membangunkan Imam. Setelah mengedarkan
pandangan ke segenap arah, Imam menatap Zainab dan tak kuasa menahan
airmata.
Para tabib yang berusaha menyebuhkannya sudah menyerah dan
mengusulkan Imam meminum susu sebanyak mungkin. Air susu adalah makanan
sekaligus minuman Imam Ali hingga syahadah beliau.
Imam kemudian memanggil Hasan dan Husein, mendekap dan menciumi
keduanya cukup lama. Setelah itu Imam Ali kembali pingsan. Hasan
membantu Imam Ali meminum susu. Imam hanya minum seteguk saja lalu
membisiki Hasan untuk memintanya mengantarkan susu yang sama kepada Ibn
Muljam – semoga Allah mengutuknya.
Imam Ali berbisik: Hai anakku Hasan, perlakukan tawananmu
dengan sebaik-baiknya, karena kami adalah Ahlul Bait kenabian yang tiada
dapat dibandingkan dengan siapa pun dalam kemuliaan dan keutamaan.
Siapa saja yang mengenal kami pasti akan merasakan kebaikan,
kedermawanan, kesantunan dan kemuliaan kami Ahlul Bait.
Setelah fajar menyingsing, masyarakat berkumpul di depan rumah beliau
dan meminta izin untuk menjengkuk. Beliau mempersilahkan mereka masuk.
Imam Ali: “Hai manusia sekalian, tanyalah padaku sebelum
kalian kehilangan aku. Namun buatlah pertanyaan kalian sesingkat
mungkin. Ingatlah musibah yang menimpa imam kalian.”
Mendengar suara lirih Imam Ali, pecahlah tangisan di tengah
masyarakat yang berkunjung. Mereka pun enggan untuk bertanya demi
meringankan beban beliau.
Hijr bin Uday Ath-Thai yang hadir di sana pun lantas berdiri
dan bersyair: “Duhai sedihnya diriku atas apa yang menimpa Tuan
orang-orang yang bertakwa, ayah dari pemimpin-pemimpin suci, Haidar yang
suci. Terkutuklah siapa saja yang menentang kalian. Kalian adalah
bekalku di hari akhirat kelak. Kalianlah peninggalan Rasul yang mulia.
Selepas mendengar syair Hijr, Imam Ali bertutur, “Bagaimana sekiranya
kau diminta melepaskan baiat dariku? Apa yang akan kau katakan?”
Hijr menjawab, “Wallahi Hai Amirul Mukminin, jikalau aku
dicincang-cincang dan dibakar di api unggun, aku tidak akan melepaskan
baiatku padamu.”
Imam Ali menjawab, “Semoga Allah memberimu taufik, Hai Hijr. Semoga Allah mengganjar kesetiaanmu pada Ahlul Bait.”
Kemudian Imam Ali meminta susu. Saat diberikan segelas susu padanya,
Imam Ali meminum seluruhnya dan tidak menyisakan untuk Ibnu Muljam.
Beliau berujar: “Sesungguhnya perintah Allah adalah takdir yang tidak
bisa ditolak. Ketahuilah bahwa aku tidak menyisakan susu tadi untuk
tawanan kalian karena itulah rizkiku yang terakhir dari dunia ini.
Ingatlah, anakku, berilah tawanan itu sebanyak susu yang aku minum
tadi.”
Imam Hasan kemudian keluar dari rumah dan mengabarkan keadaan Amirul
Mukminin kepada masyarakat yang kian banyak berkumpul di depan rumah.
Ashbagh, pelayan Imam, meminta izin kepada Hasan untuk menjenguk Imam
Ali. Setelah masuk dan melihat keadaan Imam, Ashbagh tak kuasa menahan
diri dan meledak dalam tangisan.
Ashbagh: “Aku melihat Imam terbaring menggigil di ranjang dengan dahi
merekah mengucurkan darah. Beliau melilitkan sorban warna kuning ke
atas kepalanya. Aku tak lagi bisa membedakan mana yang lebih kuning,
wajahnya atau kain sorbannya. Aku langsung memeluki dan menciuminya
selama mungkin. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.”
Imam Ali berkata: “Jangan menangis, hai Ashbagh. Sungguh demi Allah, surga telah di depan mataku!”
Ashbagh: Aku sadar betul engkau menuju ke surga. Aku menangis karena berpisah denganmu, Hai Amirul Mukminin.
Kemudian Imam Ali memanggil kembali kedua putranya, Hasan dan Husein
dan mendekap keduanya. Setelah itu Imam Ali mengedarkan pandangannya ke
seluruh putra putrinya yang lemas dan terengah-engah akibat banyak
menangis dan bersedih. Butir-butir airmata pun mengaliri jenggotnya
bercambur darah. Imam Ali menengok kepada Hasan dan Husein sembari berkata, “Duhai
Hasan, kau akan terbunuh dalam keadaan mazlum dan diracun. Adapun kau,
Duhai Husein… kau akan menjadi syahid umat ini. Kau akan disembelih
seperti binatang, lalu jasadmu akan diikat dan digeret-geret dengan
kuda. Kepalamu akan diusung untuk dibawa ke raja Bani Umayyah.
Putri-putri keturunan Rasulullah akan ditawan, digelandang dan
dipertontonkan. Sungguh kelak aku akan mengambil sikap khusus terhadp
mereka di hari kiamat.
Dahi Imam yang merekah kini telah menampakkan daging putih di bagian
otak beliau. Urwah Saluli, tabib yang kala itu masih berusaha memperban,
tak kuasa lagi dan menjerit menangis. Dia hanya bisa pasrah dan
berpamitan kepada Imam. Dengan senyum Imam mempersilahkannya keluar.
Zainab maju ke depan dengan tubuh lunglai dan bertanya kepada
kakaknya, Imam Hasan: “Bagaimana ini, Kak? Apa kata tabib tentang luka
ayahanda dan tambatan hatiku??? Aku belum siap ditinggalnya, Kak.”
Hasan berusaha menenangkan Zainab yang sangat peka malam itu dengan memeluknya erat-erat.
Muhammad ibn Abu Bakr Alhanafiyah melanjutkan. Setelah malam mulai
gelap, Imam Ali meminta seluruh anak dan kerabat Ahlul Bait untuk
berkumpul di sekitarnya. Beliau berkata: “Allah adalah Penjaga kalian
setelah kepergianku. Dia adalah Gantungan dan Sandaranku.”
Sekujur tubuh Imam Ali sudah membiru kemerahan. Beliau sudah tidak
mau lagi makan dan minum apapun. Bibirnya terus berzikir, bertasbih,
bertahmid, bertahlil sebagai tanda bahwa dia masih di bumi.
Imam Ali lalu memanggil putra-putrinya satu per satu dengan nama mereka masing-masing dan berpamitan.
Hasan bertanya kepada Imam: “Apa yang membuat Ayah berbuat seperti ini?”
Imam menjawab: “Putraku, aku telah bermimpi bertemu Rasulullah satu
malam sebelum kejadian ini. Aku telah mengeluhkan seluruh derita yang
harus kutangguh akibat perilaku umat ini kepadaku. Rasulullah memintaku
berdoa, kemudian aku berdoa: Ya Allah, berikan pada mereka sebagai ganti
dariku pemimpin yang lebih buruk dan gantikan bagiku umat yang lebih
baik dari mereka. Rasulullah menjawab, “Allah telah mengijabah doamu.
Allah akan memindahkanmu ke tempat kami setelah tiga malam.” Dan malam
ini adalah malam ketiga setelah mimpi tersebut.
Imam melanjutkan: “Aku wasiatkan kepada kalian berdua untuk terus berbuat kebajikan. Kalian adalah dariku dan aku dari kalian.”
Lalu Imam Ali menengok kepada anak-anaknya yang dari ibu selain
Sayyidah Fathimah dan berwasiat kepada mereka untuk senantiasa patuh
kepada dua putra Fathimah, yakni Hasan dan Husein.
Imam berkata: “AhsanaLLAHU lakumul ‘aza. Aku akan meninggalkan kalian
malam ini untuk berjumpa dengan kekasihku, Muhammad saw, sebagaimana
yang telah beliau janjikan padaku. Jika aku telah wafat, mandikan,
balsemi lalu balutlah aku dengan kain kafan sisa dari Kakek kalian
Rasulullah yang dibawa oleh Jibril. Kemudian baringkanlah aku di ranjang
dan semayamkanlah aku di dalam kuburan yang telah tergali di samping
ranjangku…
Wahai Abu Muhammad, shalatilah aku dan bertakbirlah tujuh kali. Tidak
boleh selainku dishalati dengan takbir tujuh kali kecuali seorang
pemimpin yang akan muncul di akhir zaman yang bernama Al-Qaim Al-Mahdi
dari keturunan adikmu Husein.
Aku wasiatkan kepadamu hai Hasan apa yang Rasulullah perintahkan
kepadaku untuk menyerahkan seluruh catatanku dan pedangku kepadamu,
kemudian beliau mewasiatkan kau untuk menyerahkannya setelah ajal
menjemputmu kepada adikmu Husein. Lalu Imam Ali memandang Husein dan
memerintahkannya untuk menyerahkannya kepada putranya, Ali bin Husein.
Kemudian Imam Ali memandang Ali bin Husein dan memerintahkannya untuk
menyerahkannya kepada anaknya, Muhammad bin Ali dan sampaikan salam
Rasulullah dan aku kepadanya.
Kemudian Imam Ali memandang kembali kepada Hasan dan berkata, “Hasan
anakku, kaulah ahli warisku dan wali setelahku. Kalau kau mau, kau dapat
memaafkan orang yang membunuhku. Kalau tidak, maka pukullah dia sekali
saja sebagaimana dia memukulku.”
Lalu Imam Ali meminta Hasan menuliskan wasiat yang panjang berisi
tentang keimanan, ketakwaan dan perilaku yang bajik di jalan Allah. Setelah itu Imam Ali memanggil Zainab dan berkata: “Hai Zainab, aku
mendengar Rasulullah bersabda bahwa seorang Mukmin yang tiba ajalnya
akan berkeringat dahinya dengan butir-butir putih yang menyala bagaikan
mutiara.”
Mendengar ucapan itu dan menyaksikan butir-butir mutiara yang
bergemerlam di dahi ayahnya, Zainab terdiam tenang dan tidak lagi
menangis. Zainab melangkah ke depan dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan
ayahnya sembari berkata, “Ayah, Ummu Ayman pernah menceritakan padaku
tragedi Karbala. Dan aku ingin mendengarnya langsung darimu.”
Imam menjawab, “Anakku, ceritanya sebagaimana yang sudah disampaikan
oleh Ummu Ayman. Seakan-akan aku bersamamu dan wanita-wanita Ahlul Bait
yang menderita kehausan, menjadi tawanan-tawanan yang dipermalukan.
Kalian akan merasakan kekhawatiran diperolok-olok oleh masyarakat. Maka
bersabarlah, bersabarlah…”
Lalu Imam Ali menatap kedua putranya, Hasan dan Husein dan bertutur:
“Seolah2 aku melihat kalian setelah ini akan dikepung dari fitnah yang
datang dari sana dan sini. Maka bersabarlah, tabahkanlah diri hingga
Allah memutuskan urusan.”
Imam melihat sekelilingnya dan bertutur: Aku kini melihat Kakek
kalian Rasulullah bersama Nenek dan Ibu kalian memanggil-manggil dan
memintaku bergegas datang kepada mereka.”
Imam kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh Ahlul Bait dan
menatap satu persatu dan berkata: “Astaudi’ukumullah jami’an. Aku
memohon pamit kepada kalian semua. Semoga Allah menjaga kalian semua.”
Beliau lalu memejamkan matanya perlahan-lahan, memanjangkan kedua
tangannya, dan meluruskan kedua kakinya. Dan dengan suara syahdu
mengucapkan Asyhaduallah ila illALLAH wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluh.
Demikianlah. Nafasnya terhenti dan ruhnya melesat menembus angkasa
menuju tingkat wujud tertinggi, kehadirat Dzat Kudus Ilahi, bersatu
dengan Kekasih Mutlak yang Maha Sempurna dalam keadaan syahid, suci,
bersih, penuh cahaya.
Innalillahi wa inna ilayhi raji’un… .